Oleh : Ponirin Mika*
Datuk merupakan gelar yang diberikan kepada bangsawan yang telah menjadi raja di Sulawesi selatan. Datuk juga sebagai symbol kesultanan yang dikuasai oleh datuk tergantung adat di daerahnya masing-masing. Datuk disematkan pula kepada ulama, guru dan orang yang alim di era penyebaran islam, seperti kiai, TGB, Buya dan lainnya.
Sedangkan Karaeng adalah sebutan bagi bangsawan dari Makassar diperuntukkan khusus pagi panggilan kepada raja beserta para keturunannya, dan biasanya hanya raja yang memakai gelar seperti ini.Adalah Datuk Karaeng Pattas ulama berasal dari Makassar melakukan dakwah di Kepulauan Kangean bertempat di Desa Gelaman, Arjasa, Sumenep. Datuk Karaeng ini merupakan salah satu ulama yang menghabiskan waktunya untuk berdakwah dan menyebarkan agama islam.
Konon, di Desa Gelaman, yang saat itu populer dengan sebutan Larangan, kondisi masyarakatnya sangat tertinggal baik berkait masalah pengetahuan agama, pendidikan, sosial dan ekonomi. Di desa Gelaman ini pula kegiatan ritual-ritual masyarakat seperti yang terlihat dalam perayaannya adalah nyaro-nyaro, makan-makan di tempat kramat dengan variasi niat. Budaya semacam ini sangat kental sekali dan hingga saat ini masih ada. Bahkan dahulu sebelum kedatangan Datuk Karaeng Pattas masyarakat Desa Gelaman ini tidak mengenal shalat lima waktu, puasa dan sebagian dari ajaran-ajaran agama islam.
Basri salah satu warga Gelaman menuturkan kepada saya, kondisi sebelum datangnya Datuk Karaeng untuk menyebarkan ajaran agama islam, masyarakat tidak mengenal shalat bahkan meskipun sudah ada Datuk Karaeng dan mendakwakan kewajiban shalat, namun ada sebagian orang yang melaksanakan shalat saat itu, konon katanya dianggap sebagai tukang sihir. Bahkan menurut ceritanya, kepada orang yang melaksanakan shalat Sebagian dari masyarakat Gelaman ingin membunuhnya, karena orang yang melaksanakan shalat dipandamg sebagai ritual yang membahayakan. Tidak sedikit dari masyarakat Gelaman menilai apabila mengalami paceklik dan kemarau yang sangat panjang salah satu penyebabnya adalah orang-orang yang melaksanakan shalat.
Datuk Karaeng Pattas bisa dibilang orang yang pertama kali mendakwakan islam di Desa Gelaman. Terlihat dari beberapa peninggalan kitab-kitab beliau dan jejak juangnya. Kitab klasik atau dalam dunia pesantren disebut dengan kitab kuning yang masih terpelihara di Masjid Datuk Karay bisa menjadi salah satu objek penelitian agar mengetahui secara benar mulai kapan datuk karaeng belajar ilmu agama dan menyebarkannya. Penulis pernah bertanya kepada salah satu peneliti manuskrip kuno berkait kitab tersebut. Menurut penuturannya kitab itu merupakan tulisan ulama pada tahun kurang lebih 1600 an. Maka sebab inilah bisa dimungkinkan Datuk Karaeng Pattas pendakwah pertama yang mendakwakan islam di Desa Gelaman.
Songkok dan Jubah yang menjadi ikon selalu di pakai saat kegiatan ritual peribadatan tertentu. Bukti bahwa Datuk Karaeng (orang kampung menyebutnya) berasal dari Makassar dan keturunan bangsawan atau raja yang menjadi ulama adalah songkok, jubah dan kitab-kitab kuning yang menjadi ciri khas atau identitasnya. Songkok yang biasa di pakai oleh para raja dan jubah biasa di pakai ulama-ulama kuno selalu di pakai ketika saat memberikan khutbah hari raya idul fitri dan idul adha dengan membaca teks Bahasa arab yang tertulis di kertas yang terbuat dari kayu lontar. Ternyata pun songkok kebesaran beliau yang di pakai pada saat memberikan khutbah itu juga dipergunakan bagi seorang pemuda yang khatam ngaji alqur’an dan di salametin (dirayakan). Songkok itu biasanya dipakaikan pada saat pemuda tersebut menunjukkan kemampuan mengajinya di depan banyak orang. Dan bahkan jubahnya pun dipergunakan berkait hal semacam itu.
Hal ini menunjukkan bahwa Datuk Karaeng Pattas memberikan apresiasi dan penghormatan kepada santri-santrinya yang berhasil dalam belajarnya.Songkok dan jubah itu hanya bisa di pakai oleh keturunan Datuk Karaeng hingga saat ini, itu pun ketika memberikan khutbah hari raya idul fitri dan idul adha, diluar itu tidak ada yang berani menggunakan songkok dan jubah itu. Guru Ngaji dan Ngajar Kitab KuningMeskipun tidak memiliki asrama tempat santri bermukim, Datuk Karaeng Pattas menjadikan langgar sebagai tempat melajar mengajarnya sekaligus tempat menginap bagi santri-santrinya.
Orang yang belajar ngaji dan belajar kitab kepada beliau banyak orang Desa Gelaman itu sendiri, meskipun dalam ceritanya ada juga orang yang berasal dari luar Desa Gelaman belajar ilmu agama kepada beliau, terutama berkait dengan ilmu tasawuf.Pada saat itu Datuk Kareng mengajarkan ilmu aqidah, fiqh, nahwu dan juga kitab tasawuf seperti kitab sullam, safinah, jurmiyah, bidayatul hidayah, mujiyat dan bahkan ada kitab yang sampai saat ini redaksinya banyak dihafal oleh orang-orang yang pernah belajar kepada beliau, kitab itu disebut dengan kitab samarkandi.Saya tidak tahu persis apakah beliau sampai mengajar kitab tafsir alqur’an. Hanya saja yang saya lihat kitab-kitab yang beliau tinggalkan yang saat ini berada di Masjid Datuk Karay adalah kitab-kitab yang biasa diajarkan di Pondok Pesantren.
Dalam menyebarkan ilmunya Datuk Karaeng tanpa pamrih. Ia tidak menjadikan pengabdiannya sebagai tempat untuk mencari makan. Beliau adalah seorang petani sama seperti masyarakat pada umumnya di desa itu.Sebagai pendakwah beliau lebih mengikuti cara-cara yang dipraktikkan wali songo. Mengislamisasi ajaran-ajaran yang diluar islam menjadi islami. Pendekatan yang beliau lakukan dalam melaksanakan dakwah adalah pendekatan keilmuan dan kekeluargaan.
*Pengurus Yayasan Datuk Karay, Gelaman, Arjasa, Sumenep Kepulauan Kangean.